RSS
email

TUGAS IPS





KONFLIK:
MASALAH, FUNGSI DAN PENGELOLAANNYA



Konflik! Sekali lagi konflik! Apakah itu? Apakah yang disebut ‘konflik’ itu? Apakah ‘konflik’ itu harus dipandang dan dinilai sebagai masalah yang apabila dibiarkan saja akan mengancam sistem kehidupan dan kelestariannya? Ataukah sesungguhnya ia itu harus dikatakan punya fungsi untuk mendinamisasi sistem kehidupan, yang oleh sebab itu harus dijaga tetap ada?


Definisi ‘Konflik’: Antara Fungsi dan Disfungsi

Konflik’ berasal mula dari kata asing conflict yang pada gilirannya berasal dari kata confligere < com (yang berarti ‘bersama’ atau ‘bersaling-silang’) + fligere (yang berarti ‘tubruk’ atau ‘bentur’). Didefinisikan secara bebas dari arti harafiahnya itu, ‘konflik’ adalah ‘perbenturan’ antara dua pihak yang tengah berjumpa dan bersilang jalan pada suatu titik kejadian, yang berujung pada terjadinya benturan. Komflik itu pada umumnya didefinisikan sebagai suatu periatiwa yang timbul karena adanya niay-niat bersengaja antara pihak-pihak yang berkonflik itu. Dalam peristiwa seperti ini, konflik akan merupakan suatu pertumbukan antara dua atau lebih dari dua pihak, yang masong-masing mencoba menyingkirkan pihak lawannya dari arena kehidupan bersama ini, atau setidak-tidaknya menaklukkannya dan mendegradasikan lawannya itu ke posisi yang lebih tersubordinasi.
Konflik itu bisa bersifat laten alias terpendam dan/atau “tertidur”, tetapi bisa pula bersifat manifes alias terbuka. Konflik bisa pula bermula dari perbedaan kepentingan yang materiil-ekonomik dan yang serba fisikal itu, akan tetapi bisa pula bermula dari perbendaan dan pertentangan kepentingan ideologi atau asas moral yang serba simbolik. Apapun wujudnya, konflik itu selalu merefleksikan tidak adanya toleransi atas eksistensi pihak lain, suatu intoleransi yang timbul hanya karena adanya perbedaan -- dan bahkan pertentangan --.kepentingan dan/atau paham dengan pihak lain itu. Tiadanya toleransi seperti itu mungkin saja cuma bermula dari rasa cemburu dan curiga, akan tetapi yang pada akhirnya akan berujung pada timbulnya rasa khawatir akan terancamnya eksistensi atau posisinya yang selama ini dominan.
Dalam kehidupan komunitas lokal yang eksklusif, dengan sifat hubungannya yang serba tatap muka dan mempribadi, di mana setiap warga sama-sama memiliki memori kolektif yang serupa, konflik yang manifes dalam bentuk bersilang selisih pendapat, apalagi yang sampai bersiterus menjadi benturan dan bertumbuk fisik, amatlah dikhawatirkan “akan menggangu stabilitas” dan merusak suasana rukun yang berasaskan prinsip “seia-sekata” serta semangat berbagi atas dasar prinsip “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Kalaupun dalam masyarakat seperti ini telah mengenal pola stratifikasi yang membedakan posisi hierarkik antar-warga, askripsi-askripsi dalam hal penetapan posisi warga menurut kelas atau kasta masing-masing itupun umumnya telah diterima bersama secara hegemonik sebagai sesuatu yang kodrati. Bantahan terhadap tradisi yang hegemonik seperti ini hanya akan berakibat dakwaan telah terjadinya bid’ah yang akan menggoncangkan sistem kehidupan yang telah mapan.
Akan tetapi, dalam kehidupan yang telah mulai berubah menuju ke wujudnya yang serba terbuka, disebabkan oleh berbagai invensi dan inovasi teknologik dalam bidang transportasi dan komunikasi, konservatisme dan kolektivisasi pendapat -- sebagaimana tersimak dalam komunitas-komunitas lokal yang eksklusif dan tertutup seperti itu -- mulailah menemui cabarannya. Bukan prinsip “seia dan sekata dan saiyeg saekapraya” itu yang jadi andalan, melainkan prinsip individualisasi pendapat dan ekspresi kreatif itulah yang mesti menjadi andalan kehidupan yang progresif. Perbedaan pendapat adalah hak, dan toleransi atas perbedaan pendapat akan berujung terjadinya kemajuan dalam peradaban manusia.
Di sini kehidupan manusia mulai dikonstruksi dalam modelnya yang baru sebagai suatu kancah keragaman yang – sekalipun bermula dari merebaknya silang pendapat dan perbedaan pilihan antar-warga – justru akan memperkaya warisan budaya suatu bangsa, atas dasar keyakinan bahwa “perbedaan itu adalah rahmat”. Di sini kebenaran bukan lagi berasal dari paringan para mufti, melainkan bermula dari dialektika tesis versus antitesis yang melahirkan sintesis alias tesis baru. Paradigma baru disiarkan, bahwa dari perbedaan paham akan dilahirkanlah kebenaran. Du choc des opinions jaillit la verite, seperti yang ditulis Dr Mohammad Hatta dalam salah satu pengantar bukunya.


Konflik Dan Fungsinya Dalam Kehidupan Yang Berprinsip Demokrasi

Harus diakui bahwa setiap konflik itu, lebih-lebih manakala manifes dalam bentuk benturan fisik, tak pelak akan menimbulkan goncangan, yang mungkin hanya berskala kecil saja akan tetapi tak muhal bisa pula berskala besar. Goncangan inilah, sekalipun berskala kecil-kecil saja, apalagi kalau berskala besar, biasa dikhawatirkan akan mengancam tegaknya sendi-sendi kehidupan. Dapatlah dimengerti apabila komunitas-komunitas lokal yang ekslusif dan berprinsip “seia sekata” itu akan amat terganggu dan akan merasakan goncangan oleh terjadinya perbedaan paham yang dikhawatirkan akan melahirkan berbagai jurus bid.ah.
Dapatlah dimengerti mengapa dalam kehidupan suku-suku dan sekte-sekte yang eksklusif ini silang selisih dan pertentangan fisik tidak sekali-kali bisa ditenggang, dan harus segera diatasi dengan berbagai langkah, mulai dari yang mengarah ke pemulihan hubungan (dalam rupa “bermaaf-maafan”) sampaipun ke pengucilan dan pengusiran atau bahkan juga bisa pematian (sebagai tindak penghukuman terhadap mereka yang durhaka atau murtad). Kenyataannya sungguh berbeda dengan apa yang tersimak dalam kehidupan bermasyarakat yang telah lebih terbuka, baik pada tataran nasional yang antar-suku/sekte maupun pada tataran global yang antar-bangsa. Dalam kehidupan ini, walaupun tak hendak ditanggapi sebagai peristiwa yang nyaman, akan tetapi dalam kehidupan yang telah terbuka -- dengan kesediaan untuk menerima berbagai perubahan -- ini apa yang disebut goncangan itu tetap saja dirasakan dan dirasionalisasi sebagai sesuatu yang perlu, sine qua non.
Dalam kehidupan industrial yang berparadigma the sovereignty of the individuals, dengan mobilitas individu yang tinggi, untuk melintasi berbagai perbatasan teritori yang serba fisik ataupun perbatasan budaya yang serba simbolik, setiap perbedaan pilihan individu, yang akan mengundang konflik dan berbagai kritik yang mengguncang, akan disambut dengan toleransi yang relatif tinggi. Perbedaan pilihan paham dianggap sebagai obat mujarab untuk mengatasi kebekuan dan kebekuan yang konservatif, yang alih-alih bersifat disfungsional justru dipandang amat fungsional untuk mendinamisasi setiap ide dan ideologi atau ajaran yang telah terlanjur mapan. Konflik disambut baik sebagai suatu pilihan manusia yang fungsional dalam kehidupannya, asal konflik itu bisa dikelola dengan agar tak meruyak di luar kontrol. Dikatakan secara analogik, konflik itu bagaikan api dalam kehidupan manusia, yang berpotensi merusak namun sungguh diperlukan dalam kehidupan manusia yang beradab, asal saja tak dibiarkan berkobar liar di luar kontrol. Bagaikan api yang harus dikontrol dalam tungku agar berguna, demikian juga konflik-konflik agar fungsional harus dikontrol lewat berbagai cara.
Dalam kehidupan yang tak lagi tersekat-sekat pagar eksklusivisme yang kedap, ialah ketika konteks yang dinamik merupakan pengalaman hidup sehari-hari yang secara serta merta telah meminggirkan gambaran yang serba seragam dan selaras, setiap warga (demi survivalnya!) mau tak mau mesti belajar menerima dan beradaptasi pada realitas lingkungannya yang kontekstual, dan tidak lagi cuma bisa bersikukuh pada ajaran-ajarannya yang serba tekstual. Setiap warga harus belajar bersikap altruistik, dan tidak lagi egosentrik, untuk merasa berkewajiban menghargai hak-hak orang lain yang mempunyai pendapat yang berbeda. Dalam kehidupan seperi itu orang harus belajar menyelesaikan persoalan atas dasar prinsip give and take. Menyadari bahwa dalam kehidupan yang terbuka itu konflik yang terjadi antar-puak yang masing-masing mempunyai latar kepentingan dan/atau paham yang berbeda-beda., orangpun mesti mengembangkan seni dan mekanisme mengelola konflik. Yang penting ialah, bahwa terjadinya konflik tetap dimungkinkan, asal dalam batas-batas suatu ruang gelanggang kebebasan tertentu, tanpa menimbulkan cedera yang serius, yang alih-alih demikian justru akan menyebabkan para pihak yang tengah berhadapan itu berkesempatan untuk saling waspada dan untuk mengerahkan seluruh potensinya.


Mengontrol Dan Mengelola Konflik

Penyelesaian persoalan dengan pemaksaan sepihak oleh pihak yang merasa lebih kuat, apalagi apabila di sini digunakan tindakan kekerasan fisik, bukanlah cara yang demokratik dan beradab. Inilah yang dinamakan “main hakim sendiri”, yang hanya menyebabkan terjadinya bentrokan yang destruktif. Cara yang lebih demokratik demi tercegahnya perpecahan, dan penindasan atas yang lemah oleh yang lebih kuat, adalah cara penyelesaian yang berangkat dari niat untuk take a little and give a little, didasari itikat baik untuk berkompromi. Musyawarah untuk mupakat, yang ditempuh dan dicapai lewat negosiasi atau mediasi, atau lewat proses yudisial dengan merujuk ke kaidah perundang-undangan yang telah disepakati pada tingkat nasional, adalah cara yang baik pula untuk mentoleransi terjadinya konflik, namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan diatasi lewat mekanisme yang akan mencegah terjadinya akibat yang merugikan kelestarian kehidupan yang tenteram.
Apapun juga prosedur dan mekanisme yang dibangun untuk mengantisipasi dan mengatasi konflik, dan betapapun efektifnya berdasarkan rancangannya, semua itu akan sia-sia saja manakala para warga tidak hendak mentransformasi dirinya menjadi insan-insan yang berorientasi inklusivisme. Berkepribadian sebagai eksklusivis, warga tidak hendak menyatukan dirinya ke puak lain, bahkan, alih-alih demikian, ia besikap konfrontatif dengan puak lain. Bersikap konfrontatif, ujung akhir penyelesaian konflik yang dibayangkan hanyalah “menang atau kalah”, dan bahwa the winner will takes all serta pula bahwa to the winner the spoil. Matinya yang kalah akan menjadi rotinya sang pemenang, iemands dood, iemands brood. Apabila konflik yang terjadi berlangsung pada model yang demikian ini, yang tak muhal bisa terjadi juga dalam masyarakat yang demokratik, akibat yang serius mestilah diredam atau dilokalisasi; ialah dicegah untuk menjadi terbatas hanya berkenaan dengan pihak-pihak yang berselisih saja, yang “pertarungannya” dan “perampasan harta kemenangan” akan diatur berdasarkan aturan-aturan permainan yang telah ditetapkan bersama (misalnya aturan perundang-undangan) yang telah dimengerti dan disosialisasikan.
Maka, dalam masyarakat demokratik, anak-anak bangsa lebih sering dilatih untuk bisa berkonflik dengan adab yang baik, bersaing keras atas dasar aturan permainan yang disepakati bersama. Semangat inklusivisme mesti dipegang teguh, dengan mengalahkan lawan tanpa mencederai lawan (menang tanpa ngasorake), dengan menundukkan lawan tanpa membangkitkan rasa dendam di pihak lawan. Bukan barang kebetulan kalau model pendidikan anak-anak bangsa di negeri-negeri demokratik itu justru pendidikan untuk bertarung dengans semangat inklusivisme seperti itu. Olah raga yang kompetitif untuk memperebutkan kemenangan yang dilimpahi kehormatan, sebahagian malah dengan memperbanyak body contacts yang tak hanya qakan menguji kekuatan badan akan tetapi juga kekuatan mengontrol emosi dan sportivitas untuk membangun apresiasi pada perlawanan lawan, adalah bagian dari pendidikan masyarakat-masyarakat demokratik.


Epilog

Memperbincangkan ihwal konflik yang terjadi dan tengah kita amati sehari-hari setakat ini di Jawa Timur, assessments apakah yang dapat kita buat dan jelaskan berdasarkan model konseptual-teoretik di muka itu. Adakah Jawa Timur ini – sekalipun sudah berformat dan berskala propinsi – masih harus kita bilangkan sebagai kumpulan masyarakat lokal yang eksklusif, yang tak sedikitpun terjamah ide inklusivisme? Adakah dengan demikian warga daerah Jawa Timur ini sebetulnya masih dikuasai orientasi eksklusivisme pra-demokratik, yang oleh sebab itu menampilkan diri sebagai sosok-sosok yang tidak akan bisa menenggang perbedaan, untuk memandang perbedaan itu adalah sumber segala konflik? Nota bene konflik-konflik ini harus dibilangkan sebagai konflik yang mesti diselesaikan dengan strategi ‘kalah-memang’, dan upaya agar memang harus diupayakan apapun caranya, karena sang pemenang akan memperoleh semuanya, tanpa perlu menyisakan apapun (tak juga kehormatan dan penghormatan!) untuk yang tengah kebetulan kalah, tak peduli apapun dendam mereka itu? Adakah kehidupan yang secara ekonomik telah terbuka, namun diwawas dari optik sosial dan kultural masuh jauh dari prinsip keterbukaan? Adakah semua itu pratanda bahwa demokrasi di propinsi Jawa Timur ini masih jauh dari kenyataan< dan baru ada dalam impian, slogan dan retorika para elit?


KELOMPOK SAGA LEGENDS:
- I GUSTI BAGUS
- ANGGA JUDISTIA
- DANISWARA RADITYA
- FAISAL ADAM
- TEUKU MOHAMMAD
- PONCO KARYONO





















Sumber:http://jeniusly.blogspot.com



Bookmark and Share

1 komentar:

Angga Judistia mengatakan...

beeeh keren kan

Posting Komentar

 

Friends